Cerita Bersambung: "Roda Kehidupan"
Part 2: Bayang-Bayang yang Mengintai
Jagad menatap layar ponselnya dengan alis berkerut. Pesan dari nomor tak dikenal itu masih terpampang jelas:
“Jagad, hati-hati. Ada seseorang yang diam-diam memperhatikan bisnis kamu. Kita harus bicara.”
Pikirannya berputar cepat. Siapa pengirim pesan ini? Apa maksudnya ada yang memperhatikan bisnisnya? Selama ini, ia merasa semuanya berjalan biasa saja, tanpa masalah besar. Tapi pesan itu membuatnya resah.
Setelah beberapa detik, Jagad membalas dengan singkat:
“Siapa ini? Apa maksudnya?”
Pesan itu terkirim, tetapi tidak ada balasan. Ia mencoba menelepon nomor itu, namun hasilnya nihil. Nomor tersebut tidak bisa dihubungi.
Malam itu, Jagad tak bisa tidur. Rasa penasaran bercampur cemas mengisi pikirannya. Bagaimana jika ada seseorang yang berniat jahat terhadap usahanya? Ia memutuskan untuk mengabaikan pesan itu sementara, meskipun bayang-bayang ancaman itu terus menghantui pikirannya.
Keesokan harinya, Jagad melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Ia bangun lebih awal untuk mempersiapkan mobil yang akan disewa pelanggan pagi itu. Namun, rasa gelisah tetap membayangi. Di sela-sela kesibukannya, ia menyempatkan diri untuk merenungkan tawaran syirkah dari Ustadz Arif.
Setelah berpikir matang, Jagad memutuskan untuk menerima tawaran itu. Ia merasa ini adalah kesempatan emas untuk mengembangkan bisnisnya sekaligus memperkuat relasi dengan orang yang terpercaya. Ia segera menghubungi Ustadz Arif untuk memberi kabar baik.
“Assalamualaikum, Ustadz. Saya sudah pikirkan tawaran syirkahnya. InsyaAllah saya siap bekerja sama,” kata Jagad melalui telepon.
“Alhamdulillah, Jagad. Keputusan yang tepat. Saya akan siapkan perjanjian dan modalnya. Semoga ini menjadi langkah yang penuh keberkahan,” jawab Ustadz Arif dengan nada puas.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Ustadz Arif datang ke garasi kecil Jagad. Mereka duduk di bawah pohon mangga di depan rumah, membahas detail kerja sama mereka. Ustadz Arif menjelaskan bahwa ia memiliki dana yang cukup untuk menambah tiga mobil baru, dan semuanya akan diserahkan kepada Jagad untuk dikelola.
Namun, di tengah pembicaraan, seorang pria tak dikenal tiba-tiba datang. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam dengan wajah yang terlihat tegang. Ia melangkah cepat ke arah mereka, tanpa memperhatikan sopan santun.
“Jagad?” tanyanya dengan nada tajam.
Jagad berdiri dan menatap pria itu dengan waspada. “Iya, saya. Ada perlu apa?”
Pria itu melirik ke arah Ustadz Arif sejenak sebelum kembali menatap Jagad. “Saya punya urusan pribadi dengan kamu. Bisakah kita bicara sebentar, tanpa orang lain?”
Jagad menoleh ke Ustadz Arif, yang memberi isyarat untuk berhati-hati. Namun, Jagad memutuskan untuk mendengarkan apa yang pria itu katakan. Ia membawa pria tersebut ke sudut garasi, cukup jauh agar pembicaraan mereka tidak terdengar.
“Siapa kamu, dan apa urusanmu denganku?” tanya Jagad dengan nada tenang, meskipun hatinya waspada.
Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku jaketnya dan menyodorkannya kepada Jagad. Kartu itu bertuliskan:
“Hendra Wijaya – Direktur Utama Surya Rent Car.”
“Dengar, Jagad. Saya sudah memantau usaha kamu selama beberapa bulan terakhir. Kamu mungkin berpikir bisnis kecilmu ini tidak berarti apa-apa, tapi kamu salah besar,” ujar pria bernama Hendra itu dengan nada datar.
Jagad mengernyit. “Apa maksudmu? Usaha saya hanya persewaan kecil di lingkungan sini.”
“Justru itu masalahnya,” lanjut Hendra. “Kamu mungkin tidak sadar, tapi kamu sudah mulai mengganggu pasar kami. Pelanggan yang biasa menyewa dari kami mulai beralih ke kamu karena harga yang lebih murah. Itu belum termasuk tawaran fleksibelmu yang sulit kami tandingi. Jadi, saya datang ke sini untuk menyelesaikan ini sebelum masalahnya semakin besar.”
Jagad merasa darahnya mendidih. Ia tidak menyangka bisnis kecilnya dianggap ancaman oleh perusahaan besar seperti Surya Rent Car. Dengan nada tegas, ia menjawab, “Usaha saya hanya mencari rezeki halal, Pak. Kalau memang ada yang menyewa di tempat saya, itu karena mereka percaya dengan layanan yang saya berikan. Bukan karena saya sengaja mengganggu usaha orang lain.”
Hendra tersenyum tipis, tetapi senyuman itu terasa dingin. “Saya tidak peduli bagaimana caramu menjalankan bisnis. Yang saya pedulikan adalah hasil akhirnya. Jadi, saya beri kamu dua pilihan, Jagad. Gabung dengan kami sebagai mitra, atau hentikan usahamu sekarang juga.”
Jagad terdiam. Tawaran itu terdengar seperti ancaman yang dibungkus manis. Ia merasa marah, tetapi ia tahu bahwa menghadapi orang seperti Hendra bukanlah perkara mudah.
“Apa maksud Anda dengan ‘gabung sebagai mitra’?” tanya Jagad hati-hati.
“Kamu akan tetap menjalankan usaha ini, tetapi semua mobil dan operasional akan berada di bawah kendali Surya Rent Car. Kamu akan dapat komisi dari setiap transaksi, tapi nama usahamu akan hilang. Kami yang akan mengambil alih semuanya,” jelas Hendra dengan nada tenang.
Jagad mengepalkan tangannya di balik punggung. Ia tahu, ini bukan tawaran yang bisa diterima begitu saja. Namun, menolak juga berarti ia harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
“Aku tidak bisa menjawab sekarang. Aku butuh waktu,” jawab Jagad akhirnya.
Hendra mengangguk pelan. “Baik. Tapi ingat, waktu tidak akan selalu berpihak padamu.” Ia kemudian berbalik dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Setelah pria itu pergi, Jagad kembali ke tempat Ustadz Arif. Wajahnya jelas menunjukkan kebingungan dan kemarahan.
“Ada apa, Jagad?” tanya Ustadz Arif, yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan.
Jagad menceritakan semuanya. Tentang ancaman Hendra, tawaran kerja sama yang terasa seperti jebakan, dan ketakutannya menghadapi perusahaan besar seperti Surya Rent Car.
Ustadz Arif mendengarkan dengan seksama, lalu menepuk bahu Jagad. “Jagad, setiap usaha besar pasti akan menghadapi ujian seperti ini. Tapi ingat, selama kita menjaga niat dan cara yang halal, Allah akan membantu kita melewati ini semua. Jangan terburu-buru mengambil keputusan.”
Jagad mengangguk pelan. Ia merasa sedikit tenang mendengar nasihat itu. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa masalah ini belum selesai.
Malam harinya, saat Jagad sedang memeriksa mobil, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini, sebuah foto terkirim dari nomor tak dikenal. Foto itu menunjukkan garasi kecilnya yang terlihat dari kejauhan, diambil jelas pada malam hari.
Pesan singkat menyertai foto itu:
“Kamu akan menyesal jika tidak mendengarkan kami.”
Jagad merasa jantungnya berdegup kencang. Bayangan ancaman itu kini terasa semakin nyata.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda: